Sunday 21 April 2013

Hunting Bareng Komunitas Fotografi Bogor(KFB) At Kiki Farm(Puncak)

Pada tanggal 21 April 2013 Obscura PC ikut hunting bareng KFB temanya foto macroan berikut dokumentasi
 photo 563612_10200925137508496_303622081_n_zps512608cc.jpg
 photo 532839_10200925190669825_1613525210_n_zps014d4876.jpg

adapun hasil potretan anak obscura tentang macroan
Klik Disini

Tuesday 12 October 2010




Kegiatan- Kegiatan KLJI
Seragam KLJI

Jenis- Jenis bentuk KLJ


LAMBANG KLJI

Workhshop KLJ Bogor di depan Tugu Kujang, Tembok Hitam


Ilmu Pengetahuan

Kamera, Awalnya Bekerja Tanpa Lensa

Saat ini, dengan paduan kamera digital dan perangkat lunak pengolah citra, proses membuat foto yang indah dapat semakin mudah dilakukan. Ditambah lagi dengan tersedianya paduan fitur kamera digital dalam banyak telepon genggam, kegiatan ini semakin terjangkau oleh lebih banyak orang. Banyak penikmat fotografi yang berpendapat bahwa elemen penentu kualitas sebuah kamera adalah lensanya. Tapi tahukah anda, bahwa kamera yang pertama di dunia dulu dapat bekerja baik, padahal tidak berlensa? Dan uniknya, kamera tanpa lensa ini belum juga punah, karena masih sering dipakai hingga hari ini!

Mengapa Bisa Tanpa Lensa?

Kamera tanpa lensa ini telah dipakai sejak dulu kala [1]. Pada abad keempat, sejumlah tokoh Yunani seperti Aristoteles dan Euclid telah mendeskripsikan teknik tersebut. Begitu pula, pada abad kelima, seorang filsuf Cina bernama Mo Jing juga telah bermain-main dengan teknik ini, yang ternyata memang sederhana namun bekerja dengan cukup baik. Secara sederhana, teknik tersebut dapat diilustrasikan oleh gambar di bawah ini.

Teknik Memotret Tanpa Lensa

Teknik Memotret Tanpa Lensa

Bayangkan bahwa anda memiliki sebuah ruang kamar yang benar-benar tertutup rapat, kecuali pada sebuah ‘lubang jarum’ di salah satu sisinya. Gelombang cahaya akan ‘bocor’ memasuki lubang ini, sehingga sebuah citra akan terbentuk pada sisi dinding yang berseberangan dengan ‘lubang jarum’. Seperti terlihat pada gambar, citra yang terbentuk menyerupai objek yang terletak di luar ruang kamar, hanya saja terproyeksikan secara terbalik.

Foto Terbesar di Dunia

Teknik kamera tanpa lensa ini lalu dikembangkan lanjut oleh Ibn al-Haytham, sang saintis pertama di dunia [2], menjadi ‘camera obscura’ (bahasa latin dari kamar gelap; kata ‘camera’ tersebut akhirnya diadopsi untuk menyebut semua jenis perangkat pembuat foto sampai saat ini) [3]. Dengannya, pemandangan yang indah di alam sekitar lalu dapat diproyeksikan ke atas kanvas, untuk lalu dapat dilukis ulang dengan perspektif yang akurat. Hasilnya lantas dapat dibawa-bawa, agar keindahan alam tersebut juga bisa dinikmati orang lain di tempat lainnya.
Di kemudian hari, orang lalu menggunakan medium film untuk menggantikan fungsi kanvas. Pada tahun 2006, dengan memanfaatkan metode ini, sebuah tim fotografer membuat “Foto terbesar di dunia” [4]. Mereka menggunakan sebuah hanggar tua yang telah tidak dipakai sebagai ‘ruang kamar’ untuk merekam citra. Persis seperti pada ilustrasi di atas, seluruh permukaan hanggar ditutup rapat, kecuali pada sebuah ‘lubang jarum’ yang sangat kecil. Hasilnya, foto yang diabadikan dapat mencapai ukuran 33 kali 8,5 meter persegi.

Mudah Dibuat Sendiri
Dengan mengganti ‘ruang kamar’ dengan sebuah kotak kecil, dan menempatkan media perekam (film ataupun sensor digital) di sisi yang berseberangan dengan ‘lubang jarum’, maka siapapun dapat membuat kamera ini sendiri, misalnya memakai sebuah kotak pensil bekas [5]. Cara mengoperasikannya pun cukup mudah: mainkan lebar bukaan ‘lubang jarum’ serta atur seberapa lama lubang itu dibiarkan terbuka. Secara sederhana, dua aturan di bawah dapat dijadikan panduan:

  1. Semakin besar lubang, dan semakin lama bukaan lubang: maka citra menjadi semakin terang, tapi detilnya semakin kabur.
  2. Semakin kecil lubang, dan semakin singkat bukaan lubang: maka citra menjadi semakin gelap, tapi detilnya semakin tajam.

Nah, selamat mencoba membuat kamera anda sendiri, tanpa lensa!

Bacaan lanjutan

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Pinhole_camera

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_al-Haytham

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Camera_obscura

[4] http://www.ocregister.com/ocregister/homepage/abox/article_1210585.php

[5] http://blog.makezine.com/archive/2006/08/make_video_podcast_weekend_pro.html

Ilustrasi: http://www.candyjar.co.uk/


Sumber : http://netsains.com/2008/08/kamera-awalnya-bekerja-tanpa-lensa/

Camera Obscura

Camera obscura

Camera obscura box.jpg
Cameras obscurae for Daguerreotype called "Grand Photographe" produced by Charles Chevalier (Musée des Arts et Métiers)

The camera obscura (Latin; "camera" is a "vaulted chamber/room" + "obscura" means "dark"= "darkened chamber/room") is an optical device that projects an image of its surroundings on a screen. It is used in drawing and for entertainment, and was one of the inventions that led to photography. The device consists of a box or room with a hole in one side. Light from an external scene passes through the hole and strikes a surface inside where it is reproduced, upside-down, but with colour and perspective preserved. The image can be projected onto paper, and can then be traced to produce a highly accurate representation.

Using mirrors, as in the 18th century overhead version (illustrated in the Discovery and Origins section below), it is possible to project a right-side-up image. Another more portable type is a box with an angled mirror projecting onto tracing paper placed on the glass top, the image being upright as viewed from the back.

As a pinhole is made smaller, the image gets sharper, but the projected image becomes dimmer. With too small a pinhole the sharpness again becomes worse due to diffraction. Some practical camera obscuras use a lens rather than a pinhole because it allows a larger aperture, giving a usable brightness while maintaining focus. (See pinhole camera for construction information.)

Contents

[hide]

Discovery and origins

The first mention of the principles behind the pinhole camera, a precursor to the camera obscura, belongs to Mo-Ti (470 BCE to 390 BCE), a Chinese philosopher and the founder of Mohism.[1] Mo-Ti referred to this camera as a "collecting plate" or "locked treasure room".[2] The Mohist tradition is unusual in Chinese thought because it is concerned with developing principles of logic. The Greek philosopher Aristotle (384 to 322 BCE) understood the optical principle of the pinhole camera. He viewed the crescent shape of a partially eclipsed sun projected on the ground through the holes in a sieve, and the gaps between leaves of a plane tree.

In the 6th century, Byzantine mathematician and architect Anthemius of Tralles (most famous for designing the Hagia Sophia), used a type of camera obscura in his experiments.[3]

However, it was mastered by the scientist Abu Ali Al-Hasan Ibn al-Haytham, born in Basra (965–1039 AD), known in the West as Alhacen or Alhazen, who carried out practical experiments on optics in his Book of Optics.[4][verification needed]

History

The pinhole camera and camera obscura are sometimes credited to Ibn al-Haytham (Alhazen, 965–1039 AD) [4][verification needed] for the first clear description[5] and correct analysis[6] of the device and for first describing how an image is formed in the eye using the camera obscura as an analogy.[7][verification needed]

However, camera obscura was known to earlier scholars since the time of Mozi and Aristotle.[8] Euclid's Optics (ca 300 BC), presupposed the camera obscura as a demonstration that light travels in straight lines.[9] When Ibn al-Haytham began experimenting with the camera obscura phenomenon, he stated (in Latin translation), Et nos non inventimus ita, "we did not invent this".[10]

In the 4th century BC, Aristotle noted that "sunlight travelling through small openings between the leaves of a tree, the holes of a sieve, the openings wickerwork, and even interlaced fingers will create circular patches of light on the ground." In the 4th century AD, Theon of Alexandria observed how "candlelight passing through a pinhole will create an illuminated spot on a screen that is directly in line with the aperture and the center of the candle." In the 9th century, Al-Kindi (Alkindus) demonstrated that "light from the right side of the flame will pass through the aperture and end up on the left side of the screen, while light from the left side of the flame will pass through the aperture and end up on the right side of the screen." While these earlier scholars described the effects of a single light passing through a pinhole, none of them suggested that what is being projected onto the screen is an image of everything on the other side of the aperture. Ibn al-Haytham's Book of Optics (1021) was the first to demonstrate this with his lamp experiment where several different light sources are arranged across a large area, and he was thus the first scientist to successfully project an entire image from outdoors onto a screen indoors with the camera obscura.[11][unreliable source?]

Several decades after Ibn al-Haytham's death, the Song Dynasty Chinese scientist Shen Kuo (1031–1095) experimented with camera obscura, and was the first to apply geometrical and quantitative attributes to it in his book of 1088 AD, the Dream Pool Essays.[12][verification needed] However, Shen Kuo alluded to the fact that the Miscellaneous Morsels from Youyang written in about 840 AD by Duan Chengshi (d. 863) during the Tang Dynasty (618–907) mentioned inverting the image of a Chinese pagoda tower beside a seashore.[12] In fact, Shen makes no assertion that he was the first to experiment with such a device.[12] Shen wrote of Cheng's book: "[Miscellaneous Morsels from Youyang] said that the image of the pagoda is inverted because it is beside the sea, and that the sea has that effect. This is nonsense. It is a normal principle that the image is inverted after passing through the small hole."[12]

In 13th-century England Roger Bacon described the use of a camera obscura for the safe observation of solar eclipses.[13] Its potential as a drawing aid may have been familiar to artists by as early as the 15th century; Leonardo da Vinci (1452–1519 AD) described camera obscura in Codex Atlanticus. Johann Zahn's Oculus Artificialis Teledioptricus Sive Telescopium was published in 1685. This work contains many descriptions and diagrams, illustrations and sketches of both the camera obscura and of the magic lantern.

Camera obscura, from a manuscript of military designs. Seventeenth century, possibly Italian.

The Dutch Masters, such as Johannes Vermeer, who were hired as painters in the 17th century, were known for their magnificent attention to detail. It has been widely speculated that they made use of such a camera, but the extent of their use by artists at this period remains a matter of considerable controversy, recently revived by the Hockney-Falco thesis. The term "camera obscura" was first used by the German astronomer Johannes Kepler in 1604.[14] The English physician and author Sir Thomas Browne speculated upon the inter-related workings of optics and the camera obscura in his 1658 Discourse The Garden of Cyrus thus-

For at the eye the Pyramidal rayes from the object, receive a decussation, and so strike a second base upon the Retina or hinder coat, the proper organ of Vision; wherein the pictures from objects are represented, answerable to the paper, or wall in the dark chamber; after the decussation of the rayes at the hole of the hornycoat, and their refraction upon the Christalline humour, answering the foramen of the window, and the convex or burning-glasses, which refract the rayes that enter it.

4 drawings by Canaletto, representing Campo San Giovanni e Paolo in Venice, obtained with a Camera obscura. (Venice, Gallerie dell'Accademia)

Early models were large; comprising either a whole darkened room or a tent (as employed by Johannes Kepler). By the 18th century, following developments by Robert Boyle and Robert Hooke, more easily portable models became available. These were extensively used by amateur artists while on their travels, but they were also employed by professionals, including Paul Sandby, Canaletto and Joshua Reynolds, whose camera (disguised as a book) is now in the Science Museum (London). Such cameras were later adapted by Joseph Nicephore Niepce, Louis Daguerre and William Fox Talbot for creating the first photographs.

References

  • Hill, Donald R. (1993), "Islamic Science and Engineering", Edinburgh University Press, page 70.
  • Lindberg, D.C. (1976), "Theories of Vision from Al Kindi to Kepler", The University of Chicago Press, Chicago and London.
  • Nazeef, Mustapha (1940), "Ibn Al-Haitham As a Naturalist Scientist", (Arabic), published proceedings of the Memorial Gathering of Al-Hacan Ibn Al-Haitham, 21 December 1939, Egypt Printing.
  • Needham, Joseph (1986). Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 1, Physics. Taipei: Caves Books Ltd.
  • Omar, S.B. (1977). "Ibn al-Haitham's Optics", Bibliotheca Islamica, Chicago.
  • Wade, Nicholas J.; Finger, Stanley (2001), "The eye as an optical instrument: from camera obscura to Helmholtz's perspective", Perception 30 (10): 1157–1177, doi:10.1068/p3210, PMID 11721819
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Camera_obscura

Sejarah KLJ

Sejarah Kamera Lubang Jarum (Pinhole Camera)

Kamera Lubang Jarum adalah kamera yang bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum yang di Indonesia ditemukan kembali oleh fotografer Ray Bachtiar Dradjat dan pada tanggal 17 Agustus 2002 mendirikan KLJI, yaitu perkumpulan pemain KLJ yang hingga kini sudah tersebar di lebih 10 kota besar Indonesia. Meski KLJ bukan alat yang sempurna, namun terbukti bisa mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan olah fisik. KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. Maka sangat pantas jika KLJ digunakan sebagai kendaraan untuk “pendidikan” dan juga “seni”. Dengan dasar seperti itu prestasi yang KLJI bisa diraih hingga kini antara lain: KLJ dijadikan pelajaran dasar fotografi di Media Rekam ISI Jogja dan institusi lainnya, melahirkan instruktur-instruktur tangguh, hingga mencetak Sarjana KLJ.

SEJARAH:

Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya memang menjadi tuntutan kebutuhan untuk bisa merekam gambar sepersis mungkin. Maka digunakanlah kotak penangkap bayangan gambar, sebuah alat yang mulanya untuk meneliti konstelasi bintang-bintang secara tepat yang dipatenkan seorang ahli perbintangan, Gemma Frisius, tahun 1554. Namun cikal bakalnya sudah dimulai oleh penulis Cina, Moti, pada abad ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan dibukukan seorang ilmuwan Arab ibnu al Haitam atau Al Hazen pada abad ke-10 M. Kemudian pada tahun 1558 ilmuwan Itali Giambattista della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.

Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan yang berkebangsaan Italia menemukan proses “jika serbuk perak nitrat dikenai cahaya warnanya akan berubah menjadi hitam”. Selanjutnya berbagai percobaan pun dilakukan. Hingga tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce (1765-1833), setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.

Merasa kurang puas, tahun 1827 Niépce mendatangi desainer panggung opera yang juga pelukis, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) untuk mengajaknya berkolaborasi. Sayang sebelum menunjukkan hasil optimal, Niépce wafat. Akhirnya pada 19 Agustus 1839, Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat “foto yang sebenarnya”: sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin dan disinari cahaya langsung dengan pemanas mercuri (neon) selama satu setengah jam. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dapur dan air suling. Proses ini disebut daguerreotype.

Di Inggris beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot (1800-1877) memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan camera obscura, tapi ia buat positifnya pada sehelai kertas chlorida perak. Kemudian pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara contact print, juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif Talbot menggunakan proses Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey, Wiltshire – Inggris.

Dan di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming, saya yang mulai menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografi pun, mulai resah. Saya tidak anti digital, tapi di dunia pendidikan fotografi Indonesia lebih baik jika “mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”. Maka berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gr, dengan negatif kertas Chen Fu, digelarlah workshop perdana pada tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. Akhirnya, September tahun 2001 terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Saya tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 berani memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain KLJ.

Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah yang kami garis bawahi. Karena lubang jarum bisa berarti kondisi dimana saat sulit datang bertamu dan pada saat seperti itu kita harus mampu meloloskan diri. Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: "Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta", karena terbukti KLJ mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata.

Sangat pantas jika KLJ di Indonesia digunakan sebagai kendaraan “pendidikan” dan juga masalah “seni”. Karena sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa, KLJ menawarkan seni proses yang sangat melelahkan, tapi KLJ juga bisa sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Ini terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali. KLJ di terima para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah kami sempat berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti seniman lukis, tekstil dan bahkan teater.

Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia tahun 2008 dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI”, saya menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ. bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI 6 tahun silam, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.

Tentu sangat ekslusif ! Karena hanya orang2 tertentu saja yang mampu membuat bahan KLJ dengan tangan mereka sendiri (handmade). Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, peristiwa seperti itu bukan sebuah khayalan. Membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, sepertinya bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Tapi karena di Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ pralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan ke dalam saku.

Dan jika efek KLJ disebutkan tidak akrab lingkungan, justru hikmahnya adalah kita dapat menyisipkan pesan dan memperkenalkan cara menangani limbah yang ditimbulkan dalam proses fotografi analog dengan benar. KLJ mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti. KLJ mengingatkan kita akan dunia materi yang fana sekaligus menjadi alat untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas bagi para kreator fotografi Indonesia.

Kini saatnya untuk menghargai sejarah sebagai langkah menuju masa datang. Atas pertimbangan itu pula jika KLJI memberikan penghargaan kepada tokoh Fotografi Indonesia yang hingga kini KLJI baru bisa memberikan penghargaan kepada fotografer Don Hasman yang masih aktif memotret budaya dan kang Dayat Ratman dari Bandung, tokoh fotografi hitam putih yang membantu lahirnya KLJ.

Meski hingga saat ini perjalanan KLJI masih sarat dengan berbagai ujian, tapi kami tetap yakin, bahwa kami masih ada di jalan yang benar. Karena KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna..........

Sumber : http://kljindonesia.org/index.php